“Kamu bersedia Hanif?,”
Kembali pertanyaan itu dilontarkan ayah padaku. Sudah 3 kali berturut-turut ayah menanyakan kesediaan ku untuk menikah dengan seorang gadis yang sudah lama di kenal oleh keluarga besarku. Dia juga sahabat kecil ku dulu yang ketika berumur 9 tahun harus pindah ke luar kota karena pekerjaan ayahnya. Kini, ketika kami telah beranjak dewasa ayah meminta ku agar segera meminangnya menjadi pendamping hidupku.
Bagiku masalah pernikahan tidak pernah terpikirkan di dalam hidupku. Gara- gara kejadian itu, wanita tidak lagi menjadi perhiasan di dalam hidupku. Penghargaan ku terhadap wanita juga telah pudar semenjak 10 tahun yang lalu. Saat ibu yang ku sayangi pergi meninggalkan ku dan ayah tanpa harus mengatakan apa pun. Dengan rela dia membiarkan aku dan ayah hidup terlunta-lunta tanpa ada kasih sayang dari seorang ibu maupun seorang istri. Sampai sekarang pun masih jelas di ingatan ku, saat ayah harus meneteskan air matanya di depanku ketika aku menanyakan mengapa ibu meninggalkan kami berdua. Namun ayah hanya diam membisu dengan isakan tangis yang di keluarkannya sambil memelukku dengan erat. Dan mulai saat itu juga, aku sangat membenci wanita. Bahkan aku pernah berpikir bahwa wanita tidak lebih hanya makhluk yang cuma bisa menghancurkan kebahagian saja.
Kini keadaan sungguh jauh dari pikiran ku semula. Di umurku yang sudah 28 tahun ini, aku sadar bahwa walau bagaimanapun juga aku harus menikah. Aku harus rela untuk tetap mejalani kehidupan ini bersama dengan seorang wanita yang nantinya akan selalu mendampingiku setiap saat. Akhirnya dengan tujuan untuk membahagiakan ayah, aku memenuhi keinginannya. Aku bersedia meminang gadis itu untuk menjadi istriku.
Setelah semua berjalan dengan baik, akhirnya hari pernikahan ku pun tiba. Aku melihat kebahagiaan di wajah ayah. Belum pernah aku melihat dia sebahagia ini selama bertahun tahun lamanya semenjak kejadian itu. Begitu pula pada Rafa gadis yang akan menjadi istriku nanti. Balutan jilbab panjang di tubuhnya membuat wajahnya berseri indah. Namun wajah itu sama sekali tak menarik hatiku.
“Kau terlalu dingin Nif,” begitulah teman-teman ku berpendapat atas sikap ku ini. Memang benar kata mereka. Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa. Biasa saja.
♥♥♥
Sudah 1 bulan lamanya aku hidup bersama Rafa. Namun perasaan yang seharusnya aku rasakan tidak kunjung datang. Aku belum merasakan bahwa aku sudah memiliki seorang istri. Sikapku padanya tidak terlihat sebagai seorang suami. Kadang aku lebih suka menghabiskan waktuku di kantor. Suatu hari, aku lupa memberi tahu padanya bahwa aku pulang larut malam. Dan ketika aku sampai di rumah, aku melihatnya tertidur di kursi meja makan. Makanan masih tersedia di atas meja itu. Tidak rusak sedikitpun. Jarum pada arlojiku sudah menunjukan pukul 3 pagi.
“ Rafa…Rafa…!,” panggilku membangunkannya. Dengan perasaan sedikit kaget dia pun terbangun.
“ Astaghfirullah, maaf Mas. Rafa tertidur,”
“Kenapa tidur disini?,”
“ Rafa nungguin Mas Hanif pulang. Mas belum makan kan? Rafa ambilkan nasi nya ya?,”
“ Ngga usah. Kamu tidur aja di dalam.Udah jam 3 pagi nih. aku udah kenyang,” jawab ku dingin padanya lalu pergi meninggalkannya.
Aku melihat ada raut sedih di wajahnya. Namun dengan kesabaran dan keikhlasan yang ternanam di dalam jiwanya, kesedihan itu seakan memudar bagai debu yang terhembus angin. Dan aku -- perasaanku semakin memberontak. Kebaikannya selama ini tidak memebekas di hatiku...
Download Cerita Lengkap
Kembali pertanyaan itu dilontarkan ayah padaku. Sudah 3 kali berturut-turut ayah menanyakan kesediaan ku untuk menikah dengan seorang gadis yang sudah lama di kenal oleh keluarga besarku. Dia juga sahabat kecil ku dulu yang ketika berumur 9 tahun harus pindah ke luar kota karena pekerjaan ayahnya. Kini, ketika kami telah beranjak dewasa ayah meminta ku agar segera meminangnya menjadi pendamping hidupku.
Bagiku masalah pernikahan tidak pernah terpikirkan di dalam hidupku. Gara- gara kejadian itu, wanita tidak lagi menjadi perhiasan di dalam hidupku. Penghargaan ku terhadap wanita juga telah pudar semenjak 10 tahun yang lalu. Saat ibu yang ku sayangi pergi meninggalkan ku dan ayah tanpa harus mengatakan apa pun. Dengan rela dia membiarkan aku dan ayah hidup terlunta-lunta tanpa ada kasih sayang dari seorang ibu maupun seorang istri. Sampai sekarang pun masih jelas di ingatan ku, saat ayah harus meneteskan air matanya di depanku ketika aku menanyakan mengapa ibu meninggalkan kami berdua. Namun ayah hanya diam membisu dengan isakan tangis yang di keluarkannya sambil memelukku dengan erat. Dan mulai saat itu juga, aku sangat membenci wanita. Bahkan aku pernah berpikir bahwa wanita tidak lebih hanya makhluk yang cuma bisa menghancurkan kebahagian saja.
Kini keadaan sungguh jauh dari pikiran ku semula. Di umurku yang sudah 28 tahun ini, aku sadar bahwa walau bagaimanapun juga aku harus menikah. Aku harus rela untuk tetap mejalani kehidupan ini bersama dengan seorang wanita yang nantinya akan selalu mendampingiku setiap saat. Akhirnya dengan tujuan untuk membahagiakan ayah, aku memenuhi keinginannya. Aku bersedia meminang gadis itu untuk menjadi istriku.
Setelah semua berjalan dengan baik, akhirnya hari pernikahan ku pun tiba. Aku melihat kebahagiaan di wajah ayah. Belum pernah aku melihat dia sebahagia ini selama bertahun tahun lamanya semenjak kejadian itu. Begitu pula pada Rafa gadis yang akan menjadi istriku nanti. Balutan jilbab panjang di tubuhnya membuat wajahnya berseri indah. Namun wajah itu sama sekali tak menarik hatiku.
“Kau terlalu dingin Nif,” begitulah teman-teman ku berpendapat atas sikap ku ini. Memang benar kata mereka. Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa. Biasa saja.
♥♥♥
Sudah 1 bulan lamanya aku hidup bersama Rafa. Namun perasaan yang seharusnya aku rasakan tidak kunjung datang. Aku belum merasakan bahwa aku sudah memiliki seorang istri. Sikapku padanya tidak terlihat sebagai seorang suami. Kadang aku lebih suka menghabiskan waktuku di kantor. Suatu hari, aku lupa memberi tahu padanya bahwa aku pulang larut malam. Dan ketika aku sampai di rumah, aku melihatnya tertidur di kursi meja makan. Makanan masih tersedia di atas meja itu. Tidak rusak sedikitpun. Jarum pada arlojiku sudah menunjukan pukul 3 pagi.
“ Rafa…Rafa…!,” panggilku membangunkannya. Dengan perasaan sedikit kaget dia pun terbangun.
“ Astaghfirullah, maaf Mas. Rafa tertidur,”
“Kenapa tidur disini?,”
“ Rafa nungguin Mas Hanif pulang. Mas belum makan kan? Rafa ambilkan nasi nya ya?,”
“ Ngga usah. Kamu tidur aja di dalam.Udah jam 3 pagi nih. aku udah kenyang,” jawab ku dingin padanya lalu pergi meninggalkannya.
Aku melihat ada raut sedih di wajahnya. Namun dengan kesabaran dan keikhlasan yang ternanam di dalam jiwanya, kesedihan itu seakan memudar bagai debu yang terhembus angin. Dan aku -- perasaanku semakin memberontak. Kebaikannya selama ini tidak memebekas di hatiku...
Download Cerita Lengkap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar